Ahmad Wahib

Banyak yang sudah tahu tentang Soe Hok Gie, tapi tidak banyak yang tahu tentang Ahmad Wahib. Beliau adalah seorang aktivis juga pada zaman yang sama seperti Soe Hok Gie, yang juga lahir pada tahun 1942, sama-sama menekuni setia catatan harian, memberikan komentar pada segala jenis peristiwa dari filsafat, agama, sampai politik. keduanya mengalami nasib yang sama, yaitu mati muda.

Ahmad Wahib (Sampang, 9 November 1942–Jakarta, 31 Maret 1973) adalah seorang budayawan, dan pemikir Islam. Semasa hidupnya yang singkat banyak membuat catatan permenungan yang juga telah dibukukan dalam Pergolakan Pemikiran Islam.
Yang berbeda, Soe Hok Gie lahir dan besar di Jakarta yang merupakan pusat segala kegiatan di Indonesia, sedangkan Ahmad Wahib lahir dan besar di Madura. Perbedaan satu lagi adalah Soe Hok Gie tidak percaya pada agama aapun, sedangkan Ahmad Wahib sangat patuh pada ajaran-ajaran Islam,karena memamng ia dibesarkan di lingkungan santri.

Berikut kutipan-kutipan tulisan Ahmad Wahib :

Semuanya ini membuat aku cemas menghadapi masa depan. Gairah, senang, tapi di lain putus asa, takut, cemas, dan lain-lain. (Ahmad Wahib, Pergolakan Pemikiran Islam, Catatan Harian, penerbit LP3ES, Jakarta 1981)

Dalam kutipan ini, Wahib berfikir bahwa hidup ini serba hitam, tak ada yang benar-benar dapat membuatnya bahagia.

Tetapi dari kekelaman hidup yang beliau lihat, justru memacunya untuk senantiasa bersikap dinamis, mencari, meragukan segalanya, membongkar segalanya dan menyusun kembali segalanya pula. Dalam dirinya beliau selalu memupuk perasaan untuk mengumandangkan kata ‘tidak’ kepada semua yang mapan termasuk dirinya sendiri seperti yang dikemukakakan pada kutipan berikut :

Aku bukan nasionalis, bukan katolik, bukan sosialis. Aku bukan buddha, bukan protestan, bukan westernis. Aku bukan komunis, aku bukan humanis. Aku adalah semuanya. Mudah-mudahan inilah yang disebut muslim. Aku ingin bahwa orang memandang dan menilaiku sebagai suatu kemutlakan tanpa manghubung-hubungkan dari kelompok mana saya termasuk serta dari aliran apa saya berangkat. (Ahmad Wahib, Pergolakan Pemikiran Islam, Catatan Harian, penerbit LP3ES, Jakarta 1981)

Dan pada kutipan lain :

Aku bukan Hatta, bukan Soekarno, bukan Syahrir, bukan Natsir, bukan Marx, dan bukan pula yang lain-lain. Bahkan, aku bukan Wahib. (Ahmad Wahib, Pergolakan Pemikiran Islam, Catatan Harian, penerbit LP3ES, Jakarta 1981)

Yang diakuinya adalah dirinya dalam proses yang tidak pernah mencapai garis finish, karena itu dirinya yang dinamis di dalam pergolakan, gejolak yang terus-menerus, suatu kegelisahan abadi dan sama sekali bukan keayeman yang aman, tenang dan lenggang. Dalam proses itulah dia mengatakan tentang dirinya :

Aku bukan Wahib. Aku adalah me-wahib. Aku mencari, dan terus menerus mencari, menuju dan menjadi Wahib. Ya, aku bukan aku. Aku adalah meng-aku, yang terus menerus berproses menjadi aku. (Ahmad Wahib, Pergolakan Pemikiran Islam, Catatan Harian, penerbit LP3ES, Jakarta 1981)

Berikut ini adalah statement dari Ahmad Wahib mengenai masalah sekularisme pada rezim Soekarno yang disimpulkannya dalam satu kata, yakni pembaruan :

Kita orang Islam belum mampu menerjemahkan kebenaran ajaran Islam dalam suatu program pencapaian. Antara ultimate values dalam ajaran Islam dengan kondisi sekarang memerlukan penerjemahan-penerjemahan. Dan ini tidak disadari. Di situ mungkin kita akan banyak berjumpa dengan kelompok pragmatisme, tapi jelas arahnya lain. Karena seperti itulah kita menjadi orang yang selalu ketinggalan dalam usaha pencapaian dan cenderung ekslusif.


Terus terang, aku kepingin sekali bertemu sendiri dengan Nabi Muhammad dan ingin mengajaknya untuk hidup di abad 20 ini dan memberikan jawaban-jawabannya. Aku sudah kurang percaya pada orang-orang yang disebut pewaris-pewarisnya. (Ahmad Wahib, Pergolakan Pemikiran Islam, Catatan Harian, penerbit LP3ES, Jakarta 1981)


Dari semua pemikiran Ahmad Wahib, yang terpenting adalah tuntutan akan adanya perubahan kelembagaan baik itu lembaga keagamaan maupun lembaga politik. eksponen manusia religirus dalam generasi ini menyimpan pamrih terhadap generasu terdahulu dan kurang percaya lagi pada ‘pewaris-pewaris’ ajaran Nabi Muhammad SAW. Karena itu ajaran Nabi Muhammad SAW harus diterjemahkan untuk mengangkat peri kehidupan subsisten bangsanya. Hal itu ditulisnya dengan sangat eksplisit:

Aku tidak mengerti keadaan di Indonesia ini, ada orang yang sudah sepuluh tahun jadi tukang becak. Tidak meningkat-ningkat. Seorang tukang cukur bercerita bahwa dia sudah 20 tahun bekerja sebagai tukang cukur. Penghasilannya hampir tetap saja. Bagaimana ini? Mengapa ada orang Indonesia yang sampai puluhan tahun menjadi pekerja-pekerja jasar yang itu-itu juga. Pengetahuan mereka juga tidak meningkat. Apa bedanya mencukur 3 tahun dengan mencukur 20 tahun? Apa bedanya menggenjot becak setahun demham sepuluh tahun? Ide untuk maju walaupun dengan pelan-pelan masih sangat kurang di Indonesia ini. Baru-baru ini saya melihat gambar orang tua di majalah. Dia telah 35 tahun manjadi tukang potong dodol pada sebuah perusahaan dodol. Potong-potong…potong terus, tiap detik, jam, hari, bulan, tahun,…, sampai 35 tahun. Masya Allah!

Bagiku dalam bekerja itu harus terjamin dan diperjuangkan dua hal :

- Penghasilan harus meningkat
- Pengalaman dan pengetahuan harus terus bertambah

(Ahmad Wahib, Pergolakan Pemikiran Islam, Catatan Harian, penerbit LP3ES, Jakarta 1981)


Wahib menganggap pada masa rezim Soekarno ada penjajahan kaum intelektual. Dan berakhir pada saat pergantian orde lama menjadi orde baru. Tapi tentang itupun sebenarnya ia masih ragu-ragu dan mengajukan pertanyaan :

...apakah setelah lepas dari penindasan lama, kaum intelektual Indonesia tidak terjerat dalam bentuk-bentuk penindasan baru yang halus, dan apakah semuanya perlu meinggalkan profesinya sebagai professional rebels?

Sekarang kebanyakan intelektual telah menjadi teknokrat alias sekrup-sekrup dalam rida pemerintahan. Kaum intelektual pada gilirannya dipergunakan lagi oleh pemerintah untuk membela beleidnya atau sebagai solidarity maker. Ternyatalah, pemerintah memang berusaha memagar dirinya dengan argumentasi intelektual. (Ahmad Wahib, Pergolakan Pemikiran Islam, Catatan Harian, penerbit LP3ES, Jakarta 1981)


Karena itu kaum intelektual perlu membina suatu moral movement yang radikal dinamis dan puritan di kalangan intelektual bebas (senuman, mahasiswa, dosen, para ahli yang mempunyai sasaran kontrol, pemerintah (sic), di samping kekuatan-kekuatan masyarakat sendiri, agar jangan sampai kekuasaan ABRI dan GOLKAR menjadi absolut. (Ahmad Wahib,”Bagaimanakah Sikap kita menghadapi Pemilu 1971”, prasaran diskusi 9 April 1971, diperbanyak oleh Kelompok Diskusi ‘Generasi Kita’ Yogyakarta)

Adapun Ahmad Wahib pernah menanggapi tulisan Soe Hok Gie, yang dituliskannya sebagai berkut :

Banyak sekali tulisan-tulisan tentang politik, termasuk usaha-usaha pemecahan masalahnya, tidak berlandaskan pada hakekat politik itu sendiri. Karena itu yang dibicarakan sebenarnya bukan lagi politik melainkan impian-impian kosong tentang politik. Inilah yang saya lihat dari tulisan-tulisan Soe Hok Gie.

Pada tanggal 25 Nopember 1971, Wahib menulis sebuah catatan pendek tentang apa yang ingin lakukan dalam beberapa tahun ke depan. Antara lain ia menulis: “Apakah karier yang ingin saya jalani? Mengembangkan pemikiran-pemikiran di bidang politik, sosial, agama, dan kebudayaan umumnya. Oleh karena itu saya butuh studi formal lagi. Studi filsafat cukup dua tahun; antropologi dua tahun, sosiologi perlu lebih lama yaitu tiga tahun; sejarah dan psikologi masing-masing cukup setahun saja; studi ilmu politik dua tahun. Saya perlu menjalani itu agar punya asar yang kuat sebagai pemikir. Tapi untuk semua itu harus ada tempat tinggal yang memadai dan… uang tentu saja.”

Catatan singkat di atas kemudian ditutup dengan sebuah pertanyaan pada diri sendiri: “Saya kuatir rencana di atas tinggal rencana. Terlalu ambisiuskah saya?” Tak sampai genap dua tahun setelah Wahib menulis catatan yang berisi pilihan “karier”-nya itu, kita kemudian tahu bahwa ia telah meninggal. Pada 30 Maret 1973, saat malam sudah beranjak, Wahib ditabrak sebuah sepeda motor dengan kecepatan tinggi di persimpangan Jalan Senen Raya-Kalilio, Jakarta. Saat itu ia baru saja keluar dari kantor Majalah Tempo, tempat di mana Wahib bekerja menjadi calon reporter.

Djohan Effendi melukiskan beberapa ironi yang terjadi mengiringi kematian Wahib: “Tragisnya, pengemudi motor tersebut adalah seorang pemuda, justeru bagian dari masyarakat yang begitu dicintai Wahib, pada siapa ia menaruh simpati dan harapan demi masa depannya. Lebih dari itu, dalam keadaan luka parah, ia ditolong dan dibawa ke Rumah Sakit Gatot Subroto justeru oleh beberapa orang gelandangan, bagian dari masyarakat yang beroleh simpati dan perhatian Wahib karena penderitaan mereka.”

Kematian Wahib memang sebuah kesedihan tersendiri. Wahib seolah melengkapi daftar manusia-manusia besar yang umurnya singkat. Dalam bahasa Goenawan Mohammad, manusia-manusia besar itu, mengalami kematian tubuh terlebih dulu ketimbang kematian nama. Wahib ada di barisan itu bersama dengan Soe Hok Gie dan Chairil Anwar.

Untunglah, Wahib—dan juga Hok Gie—menulis catatan harian. Dari tulisan mereka yang terserak dalam buku harian itulah kita bisa mendapat manfaat baru. Konon ketika buku catatan harian Wahib diterbitkan, muncul protes dari beberapa kalangan yang tak sepakat dengan pemikiran Wahib di buku itu. Saya tersenyum kecut mendengar riwayat macam itu: kenapa mesti takut dengan gumam-gumam seorang pemuda gelisah yang miskin dan putus cinta?

Categories: Share

Leave a Reply