Siapa sebenarnya Wahhabi ?

Muhammad Bin Abdul Wahhab dilahirkan di Nejed, tahun 1703 Masehi. Abdul Wahab tergolong Banu Siman, dari Tamim. Pendidikannya dimulai di Madinah yakni berguru pada ustadz Sulaiman al-Kurdi dan Muhammad Hayat al-Sind. Muhammad bin Abdul Wahhab adalah pendiri kelompok Wahabi yang mazhab fikihnya dijadikan mazhab resmi kerajaan Saudi Arabia, hingga saat ini. Dia dan pengikutnya lebih senang menamakan kelompoknya dengan al-Muwahhidun (pendukung tauhid). Namun orang-orang Eropa dan lawan-lawan politiknya menisbatkan nama ‘Wahabi’ untuk menjuluki beliau dan gerakan yang dipimpinnya.

Muhammad bin Abdul Wahhab dikenal di dunia Islam berkat perjuangannya memurnikan ajaran Islam melalui pemurnian tauhid. Masalah tauhid, yang merupakan pondasi agama Islam mendapat perhatian yang begitu besar oleh Muhammad Abdul Wahhab. Perjuangan tauhid beliau terkristalisasi dalam ungkapan la ilaha illa Allah. Menurut beliau, aqidah atau tauhid umat telah dicemari oleh berbagai hal seperti takhayul, bid’ah dan khurafat yang bisa menjatuhkan pelakunya kepada syirik. Aktivitas-aktivitas seperti mengunjungi para wali, mempersembahkan hadiah dan meyakini bahwa mereka mampu mendatangkan keuntungan atau kesusahan, mengunjungi kuburan mereka, mengusap-usap kuburan tersebut dan memohon keberkahan kepada kuburan tersebut. Seakan-akan Allah SWT sama dengan penguasa dunia yang dapat didekati melalui para tokoh mereka, dan orang-orang dekat-Nya. Bahkan manusia telah melakukan syirik apabila mereka percaya bahwa pohon kurma, pepohonan yang lain, sandal atau juru kunci makam dapat diambil berkahnya, dengan tujuan agar mereka dapat memperoleh keuntungan.
Pencemaran terhadap ajaran Islam yang murni bermula di masa pemerintahan Islam Abbasiah di Baghdad. Kemajuan ilmu pengetahuan di zaman ini telah menyeret kaum muslimin untuk ikut pula memasyarakatkan ajaran filsafat yunani dan romawi. Selain itu, pengaruh mistik platonik dari budaya Rusia ikut menimbulkan pengaruh negatif pada ajaran Islam. Puncaknya adalah berbagai macam kebatilan dan takhyul yang dipraktekkan kaum Hindu mulai diikuti orang-orang Islam. Wilayah Arab, sebagai tempat kelahiran Islam pun tidak luput dari pengaruh buruk tersebut. Orang-orang Arab terpecah belah karena perselisihan dan persaingan di antara suku, mengalami kemunduran di berbagai aspek kehidupan. Di saat seperti inilah Muhammad bin Abdul Wahhab muncul untuk kemudian membersihkan anasir-anasir asing yang menyusup ke dalam kemurnian Islam.

Di masa pendidikannya, kedua orang guru Muhammad bin Abdul Wahhab, yakni ustadz Sulaiman Al-Kurdi dan Muhammat Hayat al-Sind telah melihat tanda-tanda kecerdasan Abdul Wahhab. Mereka menemukan tanda-tanda kemampuan ijtihad pada diri Abdul Wahhab. Tak lama kemudian, Abdul Wahhab melakukan perjalanan untuk beberapa tahun ; empat tahun di Basrah, lima tahun di Baghdad, setahun di Kurdistan, dua tahun di Hamdan, dan empat tahun di Ishafan, tempat ia mempelajari filsafat, tasawuf, dan ishrakiya. Sekembalinya ke daerah asalnya, ia menghabiskan waktu setahun untuk merenung, dan baru setelah itu ia mengajukan pokok-pokok pikirannya seperti termaktub dalam kitab al-Tauhid kepada masyarakat. Pada awalnya, idenya tidak begitu mendapat tanggapan bahkan banyak mendapatkan tantangan, kebanyakan dari saudaranya sendiri, termasuk kakaknya Sulaiman dan sepupunya Abdullah bin Husain. Pemikirannya malah mendapatkan sambutan di luar daerah kelahirannya, yaitu di Dariya. Akhirnya beliau bersama keluarganya meninggalkan tanah kelahirannya dan pergi ke Dariya. Kepala suku Dariya pada saat itu, Muhammad bin Saud malah menerima pemikiran-pemikiran beliau dan melakukan propaganda untuknya.

Selanjutnya, Muhammad bin Abdul Wahhab berkerjasama secara sistematis dan saling menguntungkan dengan keluarga Saud. Dalam waktu setahun sesampainya di Dariya, Abdul Wahhab memperoleh pengikut hampir seluruh penduduk di kota. Di kota tersebut pula, beliau membangun masjid sederhana dengan lantai batu kerikil tanpa alas. Sudah diketahui umum, masjid-masjid Wahhabi dibangun secara sangat sederhana tanpa hiasan apapun. Mereka juga menghancurkan batu-batu nisan dan kuburan, bahkan juga di Jannatul Baqi, untuk menjaga jangan sampai menjadi benda pujaan orang-orang sesat atau orang-orang Islam yang bebal. Selanjutnya, pengikut Abdul Wahhab makin lama makin bertambah. Sementara itu, keluarga Saud yang hampir seluruh kehidupanya terlibat dalam peperangan dengan kepala-kepala suku lainnya selama 28 tahun, secara perlahan namun pasti memasuki masa kejayaannya. Di tahun 1765 Ibnu Saud meninggal dunia dan digantikan oleh Abdul Aziz yang tetap mempertahankan Abdul Wahhab sebagai pembimbing spiritualnya.

Seiring dengan perjalanan waktu, gerakan kaum Muwahhidun (Wahabi) ini segera menyebar ke dunia Islam lainnya dan mendapatkan banyak pengikut. Keluarga Ibnu Saud, sebagai pendukung dan unsur utama garakan ini segera menaklukkan hampir seluruh semenanjung Arab, termasuk kota-kota suci Mekkah dan Madinah. Gerakan Wahabi ini akhirnya menjadi mazhab fikih resmi keluarga Saudi yang berkuasa, dan juga dianut oleh para murid Syekh Muhammad Abduh di Mesir. Muhammad Abdul Wahhab pun akhirnya dikenal sebagai seorang pemikir dan pembaru di dunia Islam. Gerakannya telah menggetarkan dan bergema di seluruh dunia, dan merupakan sarana yang sangat besar dalam mempersatukan Arabia yang penuh persaingan ke bawah kekuasaan keluarga Saudi.

Inti ajaran Abdul Wahhab didasarkan atas ajaran-ajaran Ibnu Taimiyah dan mazhab Hambali. Prinsip-prinsip dasar ajaran tersebut adalah : (1) Ketuhanan Yang Esa dan mutlak (karena itu penganutnya menyebut dirinya dengan nama al-Muwahhidun). (2) Kembali pada ajaran Islam yang sejati, seperti termaktub dalam Al-Qur`an dan Hadits. (3) Tidak dapat dipisahkan kepercayaan dari tindakan, seperti sholat dan beramal. (4) Percaya bahwa Al-Qur`an itu bukan ciptaan manusia. (5) Kepercayaan yang nyata terhadap Al-Qur`an dan Hadits. (6) Percaya akan takdir. (7) Mengutuk segenap pandangan dan tindakan yang tidak benar (8) Mendirikan Negara Islam berdasarkan hukum Islam secara eksklusif.

Tujuan utama ajaran Abdul Wahhab adalah memurnikan tauhid umat yang sudah tercemar. Untuk itu, beliau sangat serius dalam memberantas bid’ah, khurafat dan takhyul yang berkembang di tengah-tengah umat. Beliau menentang pemujaan terhadap orang-orang suci, mengunjungi tempat-tempat keramat untuk mencari berkah. Beliau menganggap bahwa segala objek pemujaan, kecuali terhadap Allah SWT, adalah palsu. Menurut beliau, mencari bantuan dari siapa saja, kecuali dari Allah SWT, ialah syirk.
Gerakan al-Muwahhidun (Wahhabi) ini menjadi ancaman bagi kekuasaan Inggris di daerah perbatasan dan Punjab sampai 1871. Ketika itu pemerintah Inggris bersekongkol untuk mengeluarkan ‘fatwa’ guna memfitnah kaum Wahhabi sebagai orang-orang kafir.

Syekh Muhammad Abdul Wahhab, pemikir dan pembaru, pejuang tauhid yang memurnikan ajaran Islam ini wafat di tahun 1787 Masehi dan dimakamkan di Dariya. Sepeninggal beliau, ajarannya diteruskan oleh murid-muridnya, dan misi pemurnian ajaran Islam terus bergema hingga saat ini.
Buya Hamka

HAMKA (1908-1981), adalah akronim kepada nama sebenar Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah. Ia adalah seorang ulama, aktivis politik dan penulis Indonesia yang amat terkenal di alam Nusantara. Ia dilahirkan pada tanggal 17 Februari 1908 di kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, Hindia Belanda (saat itu). Ayahnya ialah Syeikh Abdul Karim bin Amrullah atau dikenali sebagai Haji Rasul, seorang pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906.

Hamka mendapat pendidikan rendah di Sekolah Dasar Maninjau sehingga kelas dua. Ketika usia HAMKA mencapai 10 tahun, ayahnya telah mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di situ Hamka mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. Hamka juga pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjopranoto dan Ki Bagus Hadikusumo.

Hamka mula-mula bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan dan guru agama di Padang Panjang pada tahun 1929. Hamka kemudian dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padang Panjang dari tahun 1957 hingga tahun 1958. Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta. Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia, tetapi meletakkan jabatan itu ketika Sukarno menyuruhnya memilih antara menjadi pegawai negeri atau bergiat dalam politik Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).

Hamka adalah seorang otodidiak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Soerjopranoto, Haji Fachrudin, AR Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang handal.

Hamka juga aktif dalam gerakan Islam melalui organisasi Muhammadiyah. Ia mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan khurafat, bidaah, tarekat dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929, Hamka mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar. Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Ia menyusun kembali pembangunan dalam Kongres Muhammadiyah ke-31 di Yogyakarta pada tahun 1950.

Pada tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai ketua umum Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudiannya meletak jawatan pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.

Kegiatan politik Hamka bermula pada tahun 1925 ketika beliau menjadi anggota partai politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu menentang usaha kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947, Hamka diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia. Ia menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum 1955. Masyumi kemudiannya diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960. Dari tahun 1964 hingga tahun 1966, Hamka dipenjarakan oleh Presiden Sukarno karena dituduh pro-Malaysia. Semasa dipenjarakanlah maka beliau mulai menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, Hamka diangkat sebagai anggota Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesia.

Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, Hamka merupakan seorang wartawan, penulis, editor dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa buah akhbar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam.

Hamka juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar (5 jilid) dan antara novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di Malaysia dan Singapura termasuklah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Kaabah dan Merantau ke Deli.

Hamka pernah menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional dan antarabangsa seperti anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa, Universitas al-Azhar, 1958; Doktor Honoris Causa, Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974; dan gelar Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno dari pemerintah Indonesia.

Hamka telah pulang ke rahmatullah pada 24 Juli 1981, namun jasa dan pengaruhnya masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan agama Islam. Ia bukan sahaja diterima sebagai seorang tokoh ulama dan sasterawan di negara kelahirannya, malah jasanya di seluruh alam Nusantara, termasuk Malaysia dan Singapura, turut dihargai.



Daftar Karya Buya Hamka

Khatibul Ummah, Jilid 1-3. Ditulis dalam huruf Arab.
Si Sabariah. (1928)
Pembela Islam (Tarikh Saidina Abu Bakar Shiddiq),1929.
Adat Minangkabau dan agama Islam (1929).
Ringkasan tarikh Ummat Islam (1929).
Kepentingan melakukan tabligh (1929).
Hikmat Isra' dan Mikraj.
Arkanul Islam (1932) di Makassar.
Laila Majnun (1932) Balai Pustaka.
Majallah 'Tentera' (4 nomor) 1932, di Makassar.
Majallah Al-Mahdi (9 nomor) 1932 di Makassar.
Mati mengandung malu (Salinan Al-Manfaluthi) 1934.
Di Bawah Lindungan Ka'bah (1936) Pedoman Masyarakat,Balai Pustaka.
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1937), Pedoman Masyarakat, Balai Pustaka.
Di Dalam Lembah Kehidupan 1939, Pedoman Masyarakat, Balai Pustaka.
Merantau ke Deli (1940), Pedoman Masyarakat, Toko Buku Syarkawi.
Margaretta Gauthier (terjemahan) 1940.
Tuan Direktur 1939.
Dijemput mamaknya,1939.
Keadilan Ilahy 1939.
Tashawwuf Modern 1939.
Falsafah Hidup 1939.
Lembaga Hidup 1940.
Lembaga Budi 1940.
Majallah 'SEMANGAT ISLAM' (Zaman Jepang 1943).
Majallah 'MENARA' (Terbit di Padang Panjang), sesudah revolusi 1946.
Negara Islam (1946).
Islam dan Demokrasi,1946.
Revolusi Pikiran,1946.
Revolusi Agama,1946.
Adat Minangkabau menghadapi Revolusi,1946.
Dibantingkan ombak masyarakat,1946.
Didalam Lembah cita-cita,1946.
Sesudah naskah Renville,1947.
Pidato Pembelaan Peristiwa Tiga Maret,1947.
Menunggu Beduk berbunyi,1949 di Bukittinggi,Sedang Konperansi Meja Bundar.
Ayahku,1950 di Jakarta.
Mandi Cahaya di Tanah Suci. 1950.
Mengembara Dilembah Nyl. 1950.
Ditepi Sungai Dajlah. 1950.
Kenangan-kenangan hidup 1,autobiografi sejak lahir 1908 sampai pd tahun 1950.
Kenangan-kenangan hidup 2.
Kenangan-kenangan hidup 3.
Kenangan-kenangan hidup 4.
Sejarah Ummat Islam Jilid 1,ditulis tahun 1938 diangsur sampai 1950.
Sejarah Ummat Islam Jilid 2.
Sejarah Ummat Islam Jilid 3.
Sejarah Ummat Islam Jilid 4.
Pedoman Mubaligh Islam,Cetakan 1 1937 ; Cetakan ke 2 tahun 1950.
Pribadi,1950.
Agama dan perempuan,1939.
Muhammadiyah melalui 3 zaman,1946,di Padang Panjang.
1001 Soal Hidup (Kumpulan karangan dr Pedoman Masyarakat, dibukukan 1950).
Pelajaran Agama Islam,1956.
Perkembangan Tashawwuf dr abad ke abad,1952.
Empat bulan di Amerika,1953 Jilid 1.
Empat bulan di Amerika Jilid 2.
Pengaruh ajaran Muhammad Abduh di Indonesia (Pidato di Kairo 1958), utk Doktor Honoris Causa.
Soal jawab 1960, disalin dari karangan-karangan Majalah GEMA ISLAM.
Dari Perbendaharaan Lama, 1963 dicetak oleh M. Arbie, Medan; dan 1982 oleh Pustaka Panjimas, Jakarta.
Lembaga Hikmat,1953 oleh Bulan Bintang, Jakarta.
Islam dan Kebatinan,1972; Bulan Bintang.
Fakta dan Khayal Tuanku Rao, 1970.
Sayid Jamaluddin Al-Afhany 1965, Bulan Bintang.
Ekspansi Ideologi (Alghazwul Fikri), 1963, Bulan Bintang.
Hak Asasi Manusia dipandang dari segi Islam 1968.
Falsafah Ideologi Islam 1950(sekembali dr Mekkah).
Keadilan Sosial dalam Islam 1950 (sekembali dr Mekkah).
Cita-cita kenegaraan dalam ajaran Islam (Kuliah umum) di Universiti Keristan 1970.
Studi Islam 1973, diterbitkan oleh Panji Masyarakat.
Himpunan Khutbah-khutbah.
Urat Tunggang Pancasila.
Doa-doa Rasulullah S.A.W,1974.
Sejarah Islam di Sumatera.
Bohong di Dunia.
Muhammadiyah di Minangkabau 1975,(Menyambut Kongres Muhammadiyah di Padang).
Pandangan Hidup Muslim,1960.
Kedudukan perempuan dalam Islam,1973.

Ahmad Wahib

Banyak yang sudah tahu tentang Soe Hok Gie, tapi tidak banyak yang tahu tentang Ahmad Wahib. Beliau adalah seorang aktivis juga pada zaman yang sama seperti Soe Hok Gie, yang juga lahir pada tahun 1942, sama-sama menekuni setia catatan harian, memberikan komentar pada segala jenis peristiwa dari filsafat, agama, sampai politik. keduanya mengalami nasib yang sama, yaitu mati muda.

Ahmad Wahib (Sampang, 9 November 1942–Jakarta, 31 Maret 1973) adalah seorang budayawan, dan pemikir Islam. Semasa hidupnya yang singkat banyak membuat catatan permenungan yang juga telah dibukukan dalam Pergolakan Pemikiran Islam.
Yang berbeda, Soe Hok Gie lahir dan besar di Jakarta yang merupakan pusat segala kegiatan di Indonesia, sedangkan Ahmad Wahib lahir dan besar di Madura. Perbedaan satu lagi adalah Soe Hok Gie tidak percaya pada agama aapun, sedangkan Ahmad Wahib sangat patuh pada ajaran-ajaran Islam,karena memamng ia dibesarkan di lingkungan santri.

Berikut kutipan-kutipan tulisan Ahmad Wahib :

Semuanya ini membuat aku cemas menghadapi masa depan. Gairah, senang, tapi di lain putus asa, takut, cemas, dan lain-lain. (Ahmad Wahib, Pergolakan Pemikiran Islam, Catatan Harian, penerbit LP3ES, Jakarta 1981)

Dalam kutipan ini, Wahib berfikir bahwa hidup ini serba hitam, tak ada yang benar-benar dapat membuatnya bahagia.

Tetapi dari kekelaman hidup yang beliau lihat, justru memacunya untuk senantiasa bersikap dinamis, mencari, meragukan segalanya, membongkar segalanya dan menyusun kembali segalanya pula. Dalam dirinya beliau selalu memupuk perasaan untuk mengumandangkan kata ‘tidak’ kepada semua yang mapan termasuk dirinya sendiri seperti yang dikemukakakan pada kutipan berikut :

Aku bukan nasionalis, bukan katolik, bukan sosialis. Aku bukan buddha, bukan protestan, bukan westernis. Aku bukan komunis, aku bukan humanis. Aku adalah semuanya. Mudah-mudahan inilah yang disebut muslim. Aku ingin bahwa orang memandang dan menilaiku sebagai suatu kemutlakan tanpa manghubung-hubungkan dari kelompok mana saya termasuk serta dari aliran apa saya berangkat. (Ahmad Wahib, Pergolakan Pemikiran Islam, Catatan Harian, penerbit LP3ES, Jakarta 1981)

Dan pada kutipan lain :

Aku bukan Hatta, bukan Soekarno, bukan Syahrir, bukan Natsir, bukan Marx, dan bukan pula yang lain-lain. Bahkan, aku bukan Wahib. (Ahmad Wahib, Pergolakan Pemikiran Islam, Catatan Harian, penerbit LP3ES, Jakarta 1981)

Yang diakuinya adalah dirinya dalam proses yang tidak pernah mencapai garis finish, karena itu dirinya yang dinamis di dalam pergolakan, gejolak yang terus-menerus, suatu kegelisahan abadi dan sama sekali bukan keayeman yang aman, tenang dan lenggang. Dalam proses itulah dia mengatakan tentang dirinya :

Aku bukan Wahib. Aku adalah me-wahib. Aku mencari, dan terus menerus mencari, menuju dan menjadi Wahib. Ya, aku bukan aku. Aku adalah meng-aku, yang terus menerus berproses menjadi aku. (Ahmad Wahib, Pergolakan Pemikiran Islam, Catatan Harian, penerbit LP3ES, Jakarta 1981)

Berikut ini adalah statement dari Ahmad Wahib mengenai masalah sekularisme pada rezim Soekarno yang disimpulkannya dalam satu kata, yakni pembaruan :

Kita orang Islam belum mampu menerjemahkan kebenaran ajaran Islam dalam suatu program pencapaian. Antara ultimate values dalam ajaran Islam dengan kondisi sekarang memerlukan penerjemahan-penerjemahan. Dan ini tidak disadari. Di situ mungkin kita akan banyak berjumpa dengan kelompok pragmatisme, tapi jelas arahnya lain. Karena seperti itulah kita menjadi orang yang selalu ketinggalan dalam usaha pencapaian dan cenderung ekslusif.


Terus terang, aku kepingin sekali bertemu sendiri dengan Nabi Muhammad dan ingin mengajaknya untuk hidup di abad 20 ini dan memberikan jawaban-jawabannya. Aku sudah kurang percaya pada orang-orang yang disebut pewaris-pewarisnya. (Ahmad Wahib, Pergolakan Pemikiran Islam, Catatan Harian, penerbit LP3ES, Jakarta 1981)


Dari semua pemikiran Ahmad Wahib, yang terpenting adalah tuntutan akan adanya perubahan kelembagaan baik itu lembaga keagamaan maupun lembaga politik. eksponen manusia religirus dalam generasi ini menyimpan pamrih terhadap generasu terdahulu dan kurang percaya lagi pada ‘pewaris-pewaris’ ajaran Nabi Muhammad SAW. Karena itu ajaran Nabi Muhammad SAW harus diterjemahkan untuk mengangkat peri kehidupan subsisten bangsanya. Hal itu ditulisnya dengan sangat eksplisit:

Aku tidak mengerti keadaan di Indonesia ini, ada orang yang sudah sepuluh tahun jadi tukang becak. Tidak meningkat-ningkat. Seorang tukang cukur bercerita bahwa dia sudah 20 tahun bekerja sebagai tukang cukur. Penghasilannya hampir tetap saja. Bagaimana ini? Mengapa ada orang Indonesia yang sampai puluhan tahun menjadi pekerja-pekerja jasar yang itu-itu juga. Pengetahuan mereka juga tidak meningkat. Apa bedanya mencukur 3 tahun dengan mencukur 20 tahun? Apa bedanya menggenjot becak setahun demham sepuluh tahun? Ide untuk maju walaupun dengan pelan-pelan masih sangat kurang di Indonesia ini. Baru-baru ini saya melihat gambar orang tua di majalah. Dia telah 35 tahun manjadi tukang potong dodol pada sebuah perusahaan dodol. Potong-potong…potong terus, tiap detik, jam, hari, bulan, tahun,…, sampai 35 tahun. Masya Allah!

Bagiku dalam bekerja itu harus terjamin dan diperjuangkan dua hal :

- Penghasilan harus meningkat
- Pengalaman dan pengetahuan harus terus bertambah

(Ahmad Wahib, Pergolakan Pemikiran Islam, Catatan Harian, penerbit LP3ES, Jakarta 1981)


Wahib menganggap pada masa rezim Soekarno ada penjajahan kaum intelektual. Dan berakhir pada saat pergantian orde lama menjadi orde baru. Tapi tentang itupun sebenarnya ia masih ragu-ragu dan mengajukan pertanyaan :

...apakah setelah lepas dari penindasan lama, kaum intelektual Indonesia tidak terjerat dalam bentuk-bentuk penindasan baru yang halus, dan apakah semuanya perlu meinggalkan profesinya sebagai professional rebels?

Sekarang kebanyakan intelektual telah menjadi teknokrat alias sekrup-sekrup dalam rida pemerintahan. Kaum intelektual pada gilirannya dipergunakan lagi oleh pemerintah untuk membela beleidnya atau sebagai solidarity maker. Ternyatalah, pemerintah memang berusaha memagar dirinya dengan argumentasi intelektual. (Ahmad Wahib, Pergolakan Pemikiran Islam, Catatan Harian, penerbit LP3ES, Jakarta 1981)


Karena itu kaum intelektual perlu membina suatu moral movement yang radikal dinamis dan puritan di kalangan intelektual bebas (senuman, mahasiswa, dosen, para ahli yang mempunyai sasaran kontrol, pemerintah (sic), di samping kekuatan-kekuatan masyarakat sendiri, agar jangan sampai kekuasaan ABRI dan GOLKAR menjadi absolut. (Ahmad Wahib,”Bagaimanakah Sikap kita menghadapi Pemilu 1971”, prasaran diskusi 9 April 1971, diperbanyak oleh Kelompok Diskusi ‘Generasi Kita’ Yogyakarta)

Adapun Ahmad Wahib pernah menanggapi tulisan Soe Hok Gie, yang dituliskannya sebagai berkut :

Banyak sekali tulisan-tulisan tentang politik, termasuk usaha-usaha pemecahan masalahnya, tidak berlandaskan pada hakekat politik itu sendiri. Karena itu yang dibicarakan sebenarnya bukan lagi politik melainkan impian-impian kosong tentang politik. Inilah yang saya lihat dari tulisan-tulisan Soe Hok Gie.

Pada tanggal 25 Nopember 1971, Wahib menulis sebuah catatan pendek tentang apa yang ingin lakukan dalam beberapa tahun ke depan. Antara lain ia menulis: “Apakah karier yang ingin saya jalani? Mengembangkan pemikiran-pemikiran di bidang politik, sosial, agama, dan kebudayaan umumnya. Oleh karena itu saya butuh studi formal lagi. Studi filsafat cukup dua tahun; antropologi dua tahun, sosiologi perlu lebih lama yaitu tiga tahun; sejarah dan psikologi masing-masing cukup setahun saja; studi ilmu politik dua tahun. Saya perlu menjalani itu agar punya asar yang kuat sebagai pemikir. Tapi untuk semua itu harus ada tempat tinggal yang memadai dan… uang tentu saja.”

Catatan singkat di atas kemudian ditutup dengan sebuah pertanyaan pada diri sendiri: “Saya kuatir rencana di atas tinggal rencana. Terlalu ambisiuskah saya?” Tak sampai genap dua tahun setelah Wahib menulis catatan yang berisi pilihan “karier”-nya itu, kita kemudian tahu bahwa ia telah meninggal. Pada 30 Maret 1973, saat malam sudah beranjak, Wahib ditabrak sebuah sepeda motor dengan kecepatan tinggi di persimpangan Jalan Senen Raya-Kalilio, Jakarta. Saat itu ia baru saja keluar dari kantor Majalah Tempo, tempat di mana Wahib bekerja menjadi calon reporter.

Djohan Effendi melukiskan beberapa ironi yang terjadi mengiringi kematian Wahib: “Tragisnya, pengemudi motor tersebut adalah seorang pemuda, justeru bagian dari masyarakat yang begitu dicintai Wahib, pada siapa ia menaruh simpati dan harapan demi masa depannya. Lebih dari itu, dalam keadaan luka parah, ia ditolong dan dibawa ke Rumah Sakit Gatot Subroto justeru oleh beberapa orang gelandangan, bagian dari masyarakat yang beroleh simpati dan perhatian Wahib karena penderitaan mereka.”

Kematian Wahib memang sebuah kesedihan tersendiri. Wahib seolah melengkapi daftar manusia-manusia besar yang umurnya singkat. Dalam bahasa Goenawan Mohammad, manusia-manusia besar itu, mengalami kematian tubuh terlebih dulu ketimbang kematian nama. Wahib ada di barisan itu bersama dengan Soe Hok Gie dan Chairil Anwar.

Untunglah, Wahib—dan juga Hok Gie—menulis catatan harian. Dari tulisan mereka yang terserak dalam buku harian itulah kita bisa mendapat manfaat baru. Konon ketika buku catatan harian Wahib diterbitkan, muncul protes dari beberapa kalangan yang tak sepakat dengan pemikiran Wahib di buku itu. Saya tersenyum kecut mendengar riwayat macam itu: kenapa mesti takut dengan gumam-gumam seorang pemuda gelisah yang miskin dan putus cinta?